Senin, 23 November 2015

Saat aku jatuh cinta

Saat aku jatuh cinta
Aku mendengar dentuman Lira sang Apollo
Aku mendengar nyanyian para Siren
Aku merasakan petir sang Zeus

Saat aku jatuh cinta
Seperti Artemis membawaku dengan keretanya
Seperti Posseidon menenggelamkan ku ke dasar samuderanya
Seperti menenggak anggur sang Diyonisus hingga mabuk

Saat aku jatuh cinta
Saat aku mencinta
Saat aku merasakan  keajaiban itu
Saat aku menemukan mu

Abadi

Besi itu berkarat
Sudah tak berguna
Hancur termakan hari
Tak berdaya dibuat hujan

Kayu itu lapuk
Tidak lagi kokoh
Habis dimakan rayap
Tak bisa apapun karena lumut

Namun

Cinta ini tidaklah hancur
Cinta ini masih kokoh
Cinta ini masih kuat
Cinta ini masih bersih

Terpatri rapi sewindu pun tetap rapi
Bersih bercahaya sedasawarsa pun tetap
Bagai Ganesha dengan tangan kecilnya
Laksana Rama dengan tekadnya

Oh seperti itulah cinta yang aku berikan

Jangkrik

Srek srek srek srek
Onomatope sang jangkrik
Bernyanyi syahdu digelap
Terkikik kecil bagai bayi

Seekor katak mengintai
Menjilat menahan nafsu
Tak tahan ingin memangsa
Sang jangkrik tetap terkikik

Si penanda malam tenang
Tak gusar bahkan seribu katak pun
Ini takdir ku bisik hati kecilnya
Sang katak siap memangsa

Secepat kilat sang terkikik hilang
Berpindah tempat ke lambung katak
Tadi adalah tawa kecil terakhirnya
Sang katak kenyang sang jangkrik lenyap

Aku sang awan

Aku mencintai mu
Seperti awan yang memenuhi langit
Sang awan tak pernah abadi
Namun selalu ada

Seperti awan lah cintaku
Tidak!
Aku lah sang awan
Yang melindungi mu dari terik surya

Akulah sang awan
Yang kembali hidup
Akulah sang awan
Yang dapat membasahi mu

CintaKu

Bagai bejana terisi penuh
Seperti itulah hati ku
Bagai sayap merpati putih
Sesuci itulah sayangku

Tetes hujan tak menandingi
Karang di laut cetek hanyalah remah
Tak menandingi cintaku
Tak mengenyangkan kasih ku

Bagai cakrawala menggaruk langit petang
Maupun bintang bertabur di langit malam
Hembus kabut saat dingin
Daun jatuh di musim gugur

Langit dan bumi saksinya
Laut dan darat mempunyai mata
Air dan api merasakan
Betapa ku bertekuk lutut pada mu

Dendam Ku

Pernah ku terjatuh
Terguling di tanah
Kalian menertawakan
Kotor baju ku tak peduli
Ku terseok kalian menatap
Tak mengulur tangan
Tidak pula bersimpati

Pernah ku berjalan
Menginjak tanah berlari cepat
Kalian menatap ku
Sepatu ku kotor tak peduli
Ku melangkah kalian membingung
Tetap tak menggandeng
Tetap tidak peduli

Saat ku nanti terbang
Saat sayap ku menghempaskan angin
Hingga menampar wajah kalian
Kotor wajah kalian tersapu debu
Kalian meminta uluran ku
Tapi aku akan menerbangkan kalian

Bedebah

Bedebah itu terus mengancam
Menabur kebencian
Terus tertawa dalam senangnya
Makin kenyang akan dosanya

Puas akan kebenciannya
Senang akan dosanya
Tertawa akan nistanya
Tidur ia dalam kegelisahan

Suatu malam yang dingin
Gelap bisu tiada suara
Hitam hanya hitam
Sekelilingnya kosong

Dia merasa aneh
Kosong itu terlalu lama
Tempat tidurnya mengeras
Bau tanah dan batu mengganggunya

Sadarlah dia sedang tertidur di peraduan
Tempat terakhir manusia
Tempat si miskin dan si kaya
Tempat si baik dan si buruk

Bertanya

Apakah kau mencintainya karena dia
Bukan karena amarahnya?
Apakah kau mencintainya karena dia
Bukan panas yang ia simpan?

Apakah kau mencintainya karena dia
Bukan karena kenikmatan darinya?
Apakah kau mencintainya karena dia
Bukan karena nafsu yang ia tawarkan?

Apakah kau mencintainya karena kamu
Bukan karena ucapan orang lain?
Apalah kau mencintainya karena kamu
Bukan karena pandangan orang lain?

Lalu apakah yang disebut mencintai
Yang aku maksud yang benar-benar cinta
Bukan karena sebab dan akibat
Apakah kau merasakan hal itu terhadapnya?

Terminal kotor

Di terminal yang kotor ini
Aku menunggu tumpangan ku
Ratusan orang bersama ku
Melakukan hal yang sama

Segala bau bercampur
Ratusan tetes keringat jatuh ke lantai
Panas tidak menggoyahkan kami
Tetap menunggu di terminal ini

Satu hal yang kami harapkan
Sang supir cepat datang
Membawa tumpangan kami
Dan kami bisa cepat bertemu kasih kami

Di terminal yang kotor ini
Semua hal di lakukan
Baik bersabar
Maupun tersulut amarah

Terminal kotor ini merekam kami
Mata kami pun mengingat terminal ini
Ah itu sang supir datang
Membawa kami ke peristirahatan kami

Februari pagi

Bulan Februari yang dingin
Aku duduk di kursi reyot ku
Menghirup teh hangat
Tenang menatap tangisan bumi

Ku berpikir
Betapa mulia si empunya dunia ini
Ia bisa membasahi
Maupun mengeringkan

Ku menutup mata
Akankah di peraduan terakhirku nanti
Akankah di tanah damai ku nanti
Si empunya akan membasahi ku?

Akankah mayat ku kedinginan
Bukankah nanti aku sendirian
Tidak ada kekasih ku untuk ku peluk
Tidak ada teh hangat untuk ku hirup

Mendadak semua mata ku panas
Bumi menangis bersama ku
Betapa kotornya aku
Bahkan lebih kotor dibanding tanah damaiku

Lambai

Lambaian tangan bermakna dua
Tanda bertemu membuka awal
Tanda berpisah menutup akhir
Banyak cerita berjalan setelah lambaian ini
Namun banyak cerita pula yang berhenti
Saat aku melambaikan perpisahan
Aku ingin kamu memegang tangan ku
Ah harapan macam apa itu
Memang inilah saatnya menutup cerita
Sejujurnya aku menangisi lambaian ini

Aku menangisi kedua-duanya
Karena yang dimulai pasti berakhir
Dan aku harus rela mengakhiri
Dan aku harap kamu ingat keduanya
Lambaian pertemuan
Dan lambaian perpisahan kita
Hanya ingat dan aku sangat bahagia
Selamat tinggal kamu

Elegi sang ulat

Cerita seekor ulat kecil
Mengesot berusaha menuju daun
Sasaran empuk sang katak di bawahnya
Makanan ringan sang ayam hutan

Bagi manusia ia sangat menggelikan
Ayahnya dianggap hama hingga mati menghirup racun
Ibunya dianggap gangguan hingga diinjak-injak orang-orang itu
Dimusnahkan tidak bersisa hanyalah dia

Ulat kecil itu sebatang kara
Tetap mengesot
Tidak mengeluh pada tuhannya
Tidak pula sombong pada mahluk lainnya

Tuhan tersenyum padanya
Ditidurkanlah sang ulat kecil
Diselimuti kepompong kokoh
Dan dibangunkan untuk membuktikan

Bahwa kesabaran lah
Hanya rendah hati lah
Membuat tuhan tersenyum senang
Dan membangunkannya dengan sayap indah

Terminal gersang

Ketahui lah bung aku telah lama
Tiga tahun duduk dibangku tanpa alas ini
Aku menunggu karib yang telah lama
Karib yang tidak sadar betapa aku menunggu

Siang hari saat ku lihat pengamen kecil itu pergi dengan sendal kotornya
Malam hari saat ku menyadari kelelahan yang terpancar dari mimik pengamen kecil itu

Kala butiran air menetes
Kala debu bertebaran akibat gesekan pejalan kaki

Kala daun coklat kering yang kau pegang itu masihlah hijau
Kala bangku ini masih tercat pernis dengan rapi

Aku tidak sadar waktu ku banyak terbuang
Aku tidak peduli itu
Kenapa aku peduli?
Aku setia menunggu karib ku kembali

Walau punggung ini terasa seperti ditebas
Mata ini serasa mengantuk
Tangan ini berpeluh menahan badan ku
Aku tetap setia menunggu

Datang lah karib ku
Tak perlu cepat
Pelan saja
Karena yang cepat datang
Lebih sering cepat pergi